Mereka yang Membunuh Tuhan


Oleh: Heru Margianto



Suatu pagi dalam sebuah perjalanan, anak sulung saya yang berusia 10 tahun duduk terpekur di kursi depan di samping saya memandangi jalanan dari kaca mobil di sisi kirinya.

Kami sedang menikmati perjalanan dalam diam. Tiba-tiba ia bergumam, “Seandainya agama itu tidak ada dan semua orang menyembah Tuhan yang satu.”

Saya sontak menoleh dan menyahut, “Terus, apa yang akan terjadi kalau begitu?”
“Dunia akan damai,” jawabnya.
“Kenapa kamu tiba-tiba berpikir soal agama,” tanya saya
“Ya, berpikir sendiri aja. Otakku ini tidak pernah berhenti berpikir.”
“Kamu habis baca buku apa sih?” saya bertanya penasaran.
“Enggak habis baca apa-apa. Berpikir sendiri aja,” kata dia.

Saya lalu bercerita padanya tentang John Lennon, lelaki dengan kacamata bundar di atas hidungnya. Saya katakan, dia tidak sendirian yang berpikir tentang dunia yang damai.

Tahun 1971 Lennon menciptakan lagu Imagine. Lagu itu bercerita tentang mimpi Lennon akan dunia yang damai, dunia yang tidak ada perselisihan, semua orang hidup bersama sebagai saudara.

Ada banyak orang di dunia ini yang punya mimpi yang sama dengan Lennon, kata saya. Mimpi akan perdamaian dan dunia yang satu dengan manusia yang hidup di dalamnya sebagai saudara tanpa sekat-sekat agama atau suku bangsa adalah mimpi dan perjuangan umat manusia sepanjang zaman.

“Lho, kenapa John Lennon ditembak orang kalau dia punya mimpi yang baik,” bocah itu menyergah cerita saya.

“Waduh, kamu tahu dari mana John Lennon mati ditembak? Bagian itu nanti ceritanya bersambung ya. Papa cari dulu ceritanya itu bagaimana.”

Saya lupa cerita detail tentang Lennon yang mati ditembak. Berselancarlah saya mencari informasi soal Lennon...dan beragam kerumitan muncul di kepala saya.

***

Lennon tidak ditembak karena mimpinya akan perdamaian dunia. Ia ditembak oleh seorang penggemarnya yang gila, Mark David Chapman. Lennon tersungkur di depan apartemennya di Dakota, New York, Amerika Serikat, 8 Desember 1980.

Imagine, mimpi Lennon dalam lagunya itu, kerap diartikan sebagai pernyataan anti-agama dan Tuhan. Dalam liriknya, Lennon membayangkan andai saja dunia ini tidak ada surga, tidak ada neraka, juga tidak ada agama.

Surga dan neraka, menurut Lennon, malah jadi petaka hidup manusia. Mimpi Lennon tentu saja dianggap tabu oleh orang-orang yang menyebut diri mereka saleh. Lennon dicap sebagai ateis, tak percaya pada Tuhan.

Apakah Lennon ateis atau bukan tidaklah penting. Mimpinya tentang perdamaian adalah mimpi universal, mimpi mereka yang bertuhan atau tidak bertuhan.

Agama barangkali hanya diperlukan bagi mereka yang membutuhkanya. Untuk berbuat baik tidak selalu orang butuh agama, yang diperlukan hanya empati dan welas asih. Ia tidak berbungkus agama.


Orang-orang yang menyatakan diri bertuhan acapkali kehilangan empati dan welas asih. Perilakunya mirip Chapman, menembak mati Tuhan, sosok yang digemarinya. Mereka menembak mati Tuhan yang welas asih dan menghidupkan Tuhan yang membenci manusia yang diciptakannya sendiri.



Tentu saja ini bukan soal agama, ini soal narasi tafsir. Di dalam narasi itu berkelindanlah konteks zaman, budaya, kepentingan politik, kedangkalan otak manusia dalam memahami ajaran para suci, juga kekerdilan jiwa yang tak mampu memahami ketakberhinggaan semesta.

Karena narasi tafsir ini, jalan hidup orang beragama acapkali melahirkan sebuah paradoks. Dengan beragama, apapun agama yang dianutnya, didambanya kebahagian hidup.

Namun, ada narasi tafsir atas ajaran para suci yang malah melahirkan ketidak bahagiaan. Atas nama surga diciptakanlah neraka di muka bumi. Atas nama iman, sekat-sekat dibangun. Eksklusivitas kelompok dikukuhkan. Stereotype didengungkan. Demi surga.

Betulkah demikian beriman itu?

Mimpi Lennon soal surga dan neraka bukan sebuah mimpi yang betul-betul baru. Pada abad ke-8 masehi, ada cerita yang amat terkenal tentang Rabiah Al-Adawiyah, seorang sufi wanita asal Irak. Suatu sore, demikian diceritakan, Sang Sufi berlari-lari di kota Baghdad sambil membawa obor dan seember air.

Orang-orang heran dengan tingkahnya dan bertanya, “Wahai Rabiah, Anda mau ke mana membawa obor di hari terang dan seember air?”.

“Aku sedang mencari surga. Aku mau bakar surga dengan obor ini supaya orang-orang yang beribadah pada Allah semata-mata karena kecintaan pada Allah, bukan karena surga. Aku juga mau memadamkan api neraka supaya mereka yang menghindari perbuatan jahat semata-mata karena cinta pada Allah, bukan karena takut pada neraka.”

Di zamannya, Rabiah pun mengalami betapa surga dan neraka menjadi sebuah petaka. Kebajikan dilakukan bukan demi kebajikan itu sendiri, tapi demi sebuah imbalan. Perilaku penjilat.

Dalam perilaku yang disebut bajik, ketulusan sejati hilang. Iman didasari oleh rasa takut. Wajah Tuhan seolah seringai yang penuh kebengisan.

Begitulah memang diajarkan pada kita. Berimanlah dengan rasa takut, takut pada Tuhan, takut pada surga dan neraka-Nya.

Tapi, bukankahkah beriman seharusnya membebaskan dan memerdekakan jiwa? Mungkinkah dibangun sebuah narasi baru tentang beriman tanpa rasa takut? Mungkinkah dunia yang damai tercipta tanpa harus ada surga dan neraka?

Dengan demikian, Tuhan yang welas asih dihidupi, tidak mati dibunuh.

***

Rumit ya...hahahah...Gumaman anak saya yang membuat saya mencari cerita soal Lennon menjadikan malam-malam saya rumit memikirkan beginian.

Seorang teman menasihati, “Sudahlah, beriman itu memang irasional.”

Tapi,...ah, sudahlah...
http://nasional.kompas.com/
loading...

0 Response to "Mereka yang Membunuh Tuhan"

Posting Komentar